Minggu, 07 November 2010

Saatnya SBY bersikap objektif

Tuesday, 16 February 2010

SEJAK SBY-Bodiyono dilantik menjadi presiden dan wakil presiden periode 2009-2014, berbagai kabar miring banyak yang tertuju kepada mereka. Salah satunya adalah isu aliran dana Century yang masuk ke partai Demokrat serta kebijakan dana bail out oleh salah satu menterinya yang dinilai tidak tepat oleh sejumlah kalangan. Adanya anggapan seperti itu sangat mengganggu kinerja pemerintahan SBY selama saratus hari kemarin.
Kasus Bank Century bukanlah kasus yang ringan dan mudah diatasai.Oleh karenanya sejak isu Century semakin memanas dikarenakan adanya aliran yang masuk ke kubu Demokrat saat kampanye, berbagai macam opini pun bermunculan.Opini-opini yang dianggap menyesatkan, memfitnah, atau menyuruh SBY bertindak cepat dalam menangani kasus ini, ternyata meresahkan dirinya hingga di setiap dia berpidato selalu menyelipkan rasa kekecewaannya.
Selanjutnya pada seratus hari pemerintahannya, adanya opini pemakzulan kepada SBY-Boediono karena dianggap telah gagal menjalankan program awal seratus harinya.Lambat laun, opini pemakzulan pascaseratus hari pemerintahan awal SBY itu hilang dari peredaran, kemudian muncul opini untuk meresafel kabinet. Munculnya opini resafel tersebut berawal dari temuan sejumlah pansus yang berebedabeda.
Partai PKS, PPP, dan Golkar, awalnya adalah partai pendukung pemerintah. Mereka terlihat seperti partai oposisi sejak adanya kesimpulan Pansus Century di mana ketiga partai tersebut seolah menemukan adanya pelanggaran terhadap kebijakan Bail Out Century yang dianggap kurang tepat dan merugikan negara. Kesimpulan mereka bertentangan dengan temuan partai Demokrat yang meyakini bahwa kebijakan itu sudah tepat dan tidak merugikan negara. Barangkali, andaikata SBY bersikukuh dengan temuan Partai Demokrat, resafel kabinet tidak akan dilakukan. Dia menganggap keputusan yang diambil Sri Mulyani sudah tepat dan bukan merugikan negara.
Temuan yang berbeda dari Pansus Century memang tidak lepas dari kekentalan unsur politik. Sampai kapan pun, jika masih ada partai oposisi dan partai koalisi, tidak akan muncul kesepahaman. Dengan begitu, kesimpulan mereka pastinya jauh dari unsur objektivitas.
Menanggapi fenomena seperti itu, SBY harus menunjukkan kelincahan dirinya dalam menuntaskan kasus Century. Publik sudah menduga, pansus akan mengulur-ulur waktu penyelesaian kasus itu hingga tidak akan ada kesepahaman. Namun sikap SBY seperti seolah tidak mau tahu. Hingga mantan menteri keuangan yang pernah mendapat anugrah sebagai menteri terbaik di Asia, Sri Mulyani, selalu dihembus oleh kabar miring dengan berakhirnya isu resafel atas dirinya.
Dalam dunia politik, objektivitas sulit sekali kita jumpai. Yang ada hanya kepentingan subjektif dalam rangka membela kelompok atau individu masing-masing. Dengan begitu resafel kabinet kemungkinan sangat kecil sekali terjadi dikarenakan SBY berpihak di kubu Partai Demokrat.
Bagaimana dengan temuan pansus lainnya, apakah dibiarkan begitu saja oleh SBY? Padahal mereka juga mempunyai data valid, yang bisa juga dipertanggung jawabkan.
Barangkali kelemahan temuan sejumlah anggota Pansus Century terletak dari hak perogratif presiden.Mereka tidak bisa meresafel kabinet yang telah dibentuk. Tugas mereka hanya menyampaikan temuan-temuan kepada Presiden. Persoalannya, kemungkinan adanya resafel itu sangat kecil sekali. Hal inilah yang disebut dengan politik subjektivitas.
Sejatinya resafel sangat penting mengingat adanya kegagalan menteri dalam menjalankan kenerjanya yang telah menjadikan negara merugi.Ibarat tubuh, jika ada salah satu anggota yang terluka atau sakit, dia harus diobati. Jika dibiarkan akan menjalar ke anggota tubuh yang lain. Begitu juga dengan menteri yang telah gagal menjalankan tugasnya.Jika tidak segera diperbaiki, kekawatiran juga akan muncul pada menteri-menteri lainnya. Sebab yang lain menganggap kegagalan bukanlah berakhirnya suatu jabatan.Inilah yang berbahaya.
Membiarkan tubuh yang rusak, itu sama halnya membiarkan marabahaya.Begitu juga dalam pemerintahan.Yang menjadi korban bukan hanya negara saja, tetapi rakyat juga turut menanggung risikonya. Sebab yang telah mengantarkan mereka menjadi orang terhormat di negeri ini tidak lain karena dukungan rakyat.
Tapi mengapa itu semua malah dibiarkan? Itulah yang sepatutnya dilakukan SBY. Dia harus memandang fenomena ini dengan mata hati, bukan hasrat nafsu jabatan yang merugikan rakyat. Jutaan rakyat menanti profesionalisme SBY dalam menyikapi permasalahan ini. Andaikan ada anak buahnya yang memang benarbenar menyimpang dari tugasnya, dia harus siap menggantikannya. M Abdurrahman Badri Mahasiswa Syariah IAIN Walisongo Semarang

Mahasiswa, Kalian Bisa Apa?

09 Oktober 2010
  • Oleh M Abdurrahman
TERKADANG mahasiswa memunculkan egoisme yang cenderung menjadi takabur. Kehadiran rasa takabur berkait dengan status yang disandang. Merasa berstatus ƬmahasiswaƮ, tidak ada rasa takut sedikit pun dalam diri mereka. Padahal, entah berhadapan dengan polisi, dosen, pemerintah, mereka dianggap sebagai anak kecil yang tak perlu ditakuti.

Kecenderungan itulah yang menyebabkan mahasiswa tak merasa perlu bertindak ’sopan’. Lebih ironis, jika mahasiswa merasa tak pernah salah, tetapi sering menyalahkan orang lain. Itulah yang saat ini telah menyebabkan mahasiswa sombong.

Mahasiswa bukan pangkat. Mahasiswa hanya status, yang tak berbeda dari yang lain. Mereka tak memiliki kekuasaan ekonomi, politik, dan sosial. Namun kekuasaan mahasiswa seolah-olah melebihi kekuasaan pejabat di negeri ini. Segala yang merugikan publik akan menjadi sasaran empuk mahasiswa untuk menggunakan kekuasaan. Penolakan terhadap praktik korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, penggusuran, penolakan kenaikan bahan bakar minyak, pendidikan mahal sering jadi aktivitas rutin bagi mahasiswa.

Itu sah-sah saja, selagi aksi tersebut benar-benar murni untuk kepentingan publik. Adalah ironis bila aksi itu berjalan berdasar kepentingan materi (uang) dan terkadang tanpa mengetahui pokok permasalahan. Padahal, dalam aksi tak jarang mahasiswa memaki-maki.
Perubahan Sosial Salah satu jargon untuk melakukan aksi adalah agen perubahan sosial. Merasa pantas menyandang jargon itu, segala lini kehidupan yang berkait dengan kehidupan bermasyarakat tak pernah lepas dari kontrol mahasiswa. Problematika bangsa, dari politik, ekonomi, sosial, sampai agama adalah lahan perjuangan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Tak sedikit yang salah dalam perjuangan atas nama publik itu. Kesalahan yang sering mereka lakukan itulah, sampai detik ini belum mereka akui sehingga terus berulang. Andai mau mengakui, mereka tentu akan mengubah cara perjuangan menjadi lebih santun dan harmonis.

Tengoklah ketika terjadi demonstrasi mahasiswa, sejumlah fasilitas publik tak jarang hancur dan ratusan orang kehilangan waktu gara-gara lalu lintas macet. Apakah perilaku itu dibenarkan bagi khalayak umum?

Belum lagi yang terkadang ada pemblokadean jalan dengan membakar ban di tengah jalan. Siapa yang merugi? Masyarakat bukan? Apakah perilaku itu pantas disandang mahasiswa?

M Abdullah Badri (Suara Merdeka, 25/9) menyatakan ada empat dosa yang tak disadari mahasiswa, yakni membaca, diskusi, menulis, dan sosialisasi. Keempat hal itu merupakan kebutuhan primer bagi mahasiswa yang tak bisa ditawar-tawar. Namun realitasnya, mahasiswa cenderung lebih banyak tidak melakukan keempat hal itu. Justru segala hal yang berkait dengan publik menjadi kebutuhan utama, mengalahkan kebutuhan diri sendiri.

Penyebab utama kegagalan perjuangan mahasiswa adalah kurang mengutamakan kepentingan pribadi. Bukankah membaca, diskusi, menulis, dan sosialisasi adalah kewajiban yang tak bisa ditinggalkan mahasiswa? Jika mengamalkan kewajiban itu, mereka akan menyadari perjuangan selama ini sangat tak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Dari membaca, mereka akan tahu segala hal yang berkait dengan cara berjuang yang baik. Mereka akan mengerti dampak arus lalu lintas yang macet, kerusakan fasilitas publik, sehingga perlu perilaku santun dan harmonis kepada sesama.
Merusak fasilitas publik jangan dijadikan alat pembenar untuk memberantas kejahatan. Bayangkan, pembangunan fasilitas publik dibiayai dengan uang rakyat.

Dengan susah payah kita membayar ke pemerintah demi memperbaiki pembangunan, tetapi kita sendiri yang merusak dan menanggung akibatnya. Itu akibat ketidaktahuan mahasiswa tentang fungsi fasilitas dan pembangunan. Andai mereka tahu, perusakan barang publik tentu tidak bakal terjadi.

Memang kebijakan yang tak prorakyat dan perilaku kejahatan pejabat terhadap negara harus dilawan. Namun bukan berarti cara kekerasan adalah jalan utama. Dalam dunia akademik, tentu perlu mengedepankan sopan santun dan etika sebagai wujud implementasi keilmuan yang dipelajari. Berperang melawan kejahatan tidak harus berwajah preman. Etika dan moralitas merupakan cermin pribadi generasi terdidik seperti mahasiswa. Jadi memerangi kejahatan tidak harus mengorbankan fasilitas publik.
Bisa Apa? Setelah melepas status mahasiswa dengan gelar sarjana, problematika pun banyak bermunculan menghadang mereka. Dulu, ketika mahasiswa, mengubah nasib sosial adalah tujuan utama. Tak jarang mereka bentrok dengan polisi dalam setiap aksi sehingga upaya itu mencerminkan jiwa sosial yang benar-benar menghendaki perubahan kea rah lebih baik.

Entah mengapa, setelah jadi sarjana, arah peran sosial mahasiswa justru tidak jelas. Menghadapi kondisi riil masyarakat, seperti kemiskinan, kebodohan, krisis moral, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Dalam menghadapi kondisi seperti itu, agen perubahan sosial harus tetap melekat dalam diri sarjana. Perjuangan harus berlanjut hingga problematika sosial benar-benar hilang.

Sosok mahasiswa yang dulu dibangga-banggakan, ternyata tak bernyali di depan masyarakat sesungguhnya. Apa gunanya status itu jika setelah jadi sarjana tidak peduli lagi terhadap realitas sosial? Bahkan mengubah diri sendiri pun kesulitan.
Karena itu, jangan hanya bangga dengan status mahasiswa. Peran serta dalam menyumbangkan ide dan tenaga dalam mengubah kondisi sosial pun seharusnya jadi kewajiban bagi mahasiswa. Jangan ikut-ikutan, tanpa mengetahui pokok permasalahan yang dihadapi. (51)

- M Abdurrahman, pegiat Komunitas Rindu Alas IAIN Walisongo Semarang