Oleh: M. Abdurrahman Badri
Sejak dimulainya kampanye capres dan cawapres pada 12 Juni 2009
lalu, para kandidat mulai melebarkan sayapnya lebih luas dalam berkampanye.
Berbagai visi misi mulai bertebaran. Rakyat yang melihat orasi capres cawapres
dengan program yang dijanjikan sulit untuk menentukan pilihan yang tepat. Sebab
dari sekian kandidat itu semuanya ingin mesejahterakan rakyat jika terpilih.
Lantas bagaimana kriteria pemimpin rakyat yang dapat mengentaskan dari
keterpurukan?
Pemimpin adalah tulang punggung rakyat. Jika pemimpin
tersebut tidak bisa berbuat banyak (pasif) bagi rakyat, kesejahteraan rakyat sulit
terwujud. Yang ada adalah penyelewengan-penyelewengan jabatan. Dampaknya rakyat
semakin jauh dari kesejahteraan.
Untuk mengantisipasi hal itu, calon pemilih harus
mempunyai kriteria capres cawapres yang peduli dengan rakyat. Mereka yang
peduli dengan rakyat tidak sekedar saat kampanye politik saja, tetapi sebelum
dan sesudah menjadi presiden, kepedulian pada rakyat tetap saja diprioritaskan.
Bagaimanakah bentuk kepedulian pada rakyat?
Pemberantasan Korupsi
Pemberantasan korupsi merupakan serangkaian visi misi yang tak
terlewatkan bagi capres dan cawapres. Visi misi ini sangat urgen mengingat
negara Indonesia adalah negara yang rentan dengan korupsi, kolusi dan
nepotisme. Jika pemberantasan korupsi dijadikan sebagai ajang kampanye,
antusiasme rakyat dalam menyambut program ini sangat banyak sekali. Bagi
rakyat, pemimpin dapat memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya adalah
pemimpin berjiwa kesatria. Karena koruptor yang mencuri uang negara adalah
penjahat yang setiap saat selalu bermunculan. Karena itu rakyat menjadi puas
dengan kembalinya uang yang telah dicuri
koruptor.
Kasus korupsi yang pernah ditangani KPK jumlahnya sangat banyak
sekali, baik di tingkat daerah maupun pusat. Tapi jumlah yang tidak sedikit
itu, korupsi masih saja merajalela di negeri ini. Hukuman yang dijatuhkan bagi
para koruptor tidak dapat membuat jera. Jika salah satu tertangkap, yang
lainnya akan muncul menjadi koruptor-koruptor baru. Dalam pandangan mereka,
biarpun tertangkap, kehidupan layaknya hidup normal masih dapat mereka rasakan.
Sebab hukuman yang mereka terima, biasa-biasa saja alias tidak bisa membuat
jera.
Dari sebab itu seorang calon pemimpin negara harus mempunyai
ketegasan dalam memberantas korupsi. Ia
tidak boleh lemah dalam menindak para koruptor. Jangan hanya memberantas dan
menangkap saja. Hukuman setimpal yang diberikan pada koruptor juga perlu
diterapkan. Agar setiap koruptor yang tertangkap merasakan siksaan pedih
sehingga orang yang melihat merasa takut untuk melakukan korupsi.
Pemberantasan korupsi telah berjalan lancar. Tapi untuk membuat jera
pelaku tidak selancar dalam menangkap koruptor. Cara pemberantasan seperti ini
mirip dengan jargonnya orang hutang “gali lubang tutup lubang”. Ini artinya,
satu koruptor tertangkap, koruptor-koruptor baru akan bermunculan.
Dalam hal ini kendala dalam pemberantasan korupsi adalah dalam segi
sistem hukumnya. Negara kita tidak berani menerapkan hukuman mati atau gantung
bagi koruptor. Jika kondisi masih seperti ini, korupsi tidak akan pernah hilang
di negara kita
Pemimpin Yang
Berperasaan
Kondisi bangsa Indonesia saat ini masih jauh dari sejahtera. Untuk
mengentaskan kondisi seperti ini diperlukan seorang pemimpin bangsa yang
mempunyai perasaan sebagaimana yang dirasakan oleh rakyat. Negara dapat
dikatakan makmur jika rakyatnya hidup sejahtera dan damai. Akan tetapi, kondisi
seperti itu masih jauh dari realita bangsa kita. Kemiskinan, pengangguran, PHK
dan sebagainya masih banyak terjadi.
Ketika rakyat kesulitan merasakan beban hidup ini karena dampak
krisis global, seorang pemimpin harus bisa merasakan sebagaimana yang dirasakan
rakyat. Jika mencari uang sulit dikarenakan krisis global dan berdampak pada
perusahaan yang gulung tikar, pemimpin harus bisa berhemat dalam pengeluaran
anggaran. Sikap seperti ini merupakan bentuk simpatisan dari seorang atasan
pada rakyat sipil biasa. Jangan sampai
dia bersukaria di atas penderitaan rakyat dengan menghambur-hamburkan uang
untuk keperluan yang tidak penting.
Rakyat sipil yang mencari nafkah di pinggir jalan harus dilindungi.
Mereka mempunyai hak untuk mencari rizki dimana pun berada, tak terkecuali di
jalanan. Jika mereka diusir secara paksa karena membuat pemandangan kota kurang
indah, ini sama halnya kolonialisasi hak sipil. Bila hendak mengusir, jaminan
ganti rugi berupa tempat dan modal harus diberikan pada rakyat. Bagi rakyat,
mencari uang di pinggir jalan sangat sulit. Belum tentu keuntungan yang
diperoleh dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapi yang terjadi sebaliknya,
pedagang kaki lima selalu mendapat perlakuan tidak baik dari Satpol PP. Jika
mereka merasakan sebagaimana yang dirasakan pedagang kaki lima ketika mencari
uang di pinggir jalan, ia tidak akan
tega melihat saudaranya terlantar dalam mencari rizki.
Oleh karenanya, pemimpin ke depan harus berjiwa merakyat. Ia paham dengan apa yang dirasakan rakyat.
Setiap kesulitan-kesulitan yang dirasakan
rakyat selalu diperhatikan. Dengan perhatian itu dia sama halnya
mengentaskan keterpurukan rakyat dari kehidupan yang kejam.
Moral Baik
Moral adalah ukuran baik tidaknya seseorang. Ia tidak bisa disamakan
dengan materi maupun pengetahuan. Sebab moral merupakan penentu dari kemakmuran
suatu negara bagi pemimpin. Jika pemimpin bermoral jelek, seperti korupsi,
pelanggaran HAM, berbuat dzalim, negara yang dia pimpin tidak akan mengalami
kemajuan, yang terjadi adalah kemiskinan, pengangguran, dan keterpurukan dalam
berbagai hal. Oleh karena itu pemimpin yang bermoral baik sangat diperlukan
dalam sebuah negara. Di tangan dialah, kemajuan dan kemakmuran negara dapat
tercapai.
Nabi pernah bersabda: sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak. Hal ini memberi gambaran bahwa manusia bermoral
jelek lebih banyak dari pada bermoral baik. Jadi, moral jelek sebagaimana yang
dilakukan para anggota parlemen dan beberapa pemimpin daerah adalah suatu
fitrah manusia. Jika dihadapkan dengan sejumlah harta atau kekuasaan, segala
cara akan dilakukan. Tapi hal ini jangan sampai dijadikan sebagai justifikasi
bahwa korupsi adalah boleh dan sudah ditetapkan tuhan. Oleh karenanya, dalam
memilih pemimpin pada 8 Juli nanti, kriteria moral untuk masing-masing kandidat
perlu diperhatikan. Jangan sampai
seorang pemimpin negara bermoral jelek, baik dalam segi agama, sosial, maupun
negara.
Pintar dan kaya tidak menjamin sebuah negara bisa maju jika tidak
didukung dengan moral yang baik. Dengan begitu, moral adalah penentu masa depan
Indonesia ke depan.
dimuat di Koran Sore Wawasan