Oleh: M. Abdurrahman
Sejak dari dulu, ketika harga BBM hendak dinaikkan, gelombang sunami demonstrasi selalu saja hadir sebagai wujud penolakan. Peristiwa BBM dan demonstrasi memang berbeda dari yang lainnya. Padahal, kasus korupsi, suap, pencucian uang, mark-up anggaran, dan lain-lain termasuk pula sebagai problem bangsa yang berdampak pada masyarakat. Akan tetapi, peristiwa demonstrasi tidak sebegitu besar ketika masyarakat berdemo BBM. Apa sebabnya?
Dalam teori ekonomi, ada tiga
kebutuhan yang harus dipenuhi manusia. Pertama, kebutuhan primer, seperti makan
dan minum tidak bisa dipisahkan dari orang yang masih hidup. Di negara Etiopia,
Somalia, dan negara-negara yang miskin, angka ketahanan hidup di negara
tersebut cenderung rendah berkisar pada usia 39-an tahun. Pasalnya, mayoritas
penduduk negara miskin tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan primer dengan
baik. Tentunya ada banyak faktor mengapa bisa seperti itu. Yang jelas kebutuhan
primer merupakan yang paling utama dan pokok dari pada kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Keberadaan BBM di dunia ini mirip
dengan jantung dalam tubuh manusia. Jika jantung sudah rusak atau sakit,
sekujur tubuh kita akan merasa sakit. Mulai dari kepala hingga ujung kaki akan
merasakan dampaknya. Dalam konteks ini, jika BBM naik, otomatis harga-harga
lain akan ikut mengalami kenaikan. Sebab BBM merupakan kunci dari
terselenggaranya kebutuhan pokok manusia.
Sebagai contoh, bila orang hendak
membeli makan di warung, yang perlu diperhatikan adalah dari mana asal makanan
itu terbuat. Jika diperhatikan, beras yang dimasak menjadi nasi tidak lantas
diproduksi sendiri. Beras berasal dari bulog yang kemudian di jual ke pasar. Di
pasar itu, ada pembeli eceran. Disini akan terlihat jelas, bahwa untuk
memobilisasi beras dari awal hingga sampai warung membutuhkan energi minyak.
Belum lagi jika dimasak menggunakan gas. Apabila BBM naik, seluruh elemen
kehidupan manusia akan juga turut naik. Hal ini sudah menjadi hukum alam.
Yang kedua adalah kebutuhan skunder.
Kebutuhan ini tidak begitu vital sebagaimana kebutuhan primer. Kebutuhan ini
hanya sebagai pendukung, seperti pakaian dan tempat tinggal. Walaupun begitu,
minimal dari terwujudnya kebutuhan skunder tersebut tampak terlihat
kesejahteraan hidup. Sebab manusia tidak hanya butuh makan dan minum saja, ada
kebutuhan lain untuk mempertahnkan hidup lebih layak sebagaimana kebutuhan ini.
Sehingga dampak kenaikan BBM akan turut pula mempengaruhi kenaikan harga
kebutuhan skunder.
Ketiga adalah kebutuhan tersier. Bagi
masyarakat menengah ke bawah, pemenuhan kebutuhan primer dan skunder dianggap
sudah cukup. Mereka bercermin diri terhadap kapasitas yang mereka miliki ketika
menjalani hidup ini. Bagi mereka, kebutuhan tersier dianggap tidak terlalu
utama dan pokok. Sebab kebutuhan tersier hanya bagi mereka yang mampu secara
finansial.
Dari sekian ratus juta penduduk
Indonesia terdiri dari golongan atas, golongan menengah, dan golongan bawah.
Sebagaimana tersebut di atas, bahwa kebutuhan tersier seperti motor, mobil, dan
perhiasan kebanyakan diisi golongan atasan dan menengah. Ketiga golongan itu
dijuluki dengan rakyat. Ketika BBM naik, tidak ada kamus mengatakan akan
kestabilan harga kebutuhan tersier.
Sebagaimana di atas tadi, bahwa BBM
adalah jantung dari anggota tubuh. Sedangkan ketiga kebutuhan hidup tersebut
merupakan bagian dar organ-organ tubuh. Ketika jantung sakit, maka ketiga organ
tersebut akan merasakan sakit.
Analoginya, golongan rakyat yang
terdiri dari golongan atas, menengah, dan bawah tidak jauh beda dengan organ
tubuh di negeri ini. Sedangkan jantungnya adalah pemerintah yang mengendalikan
negara. Jika pemerintah sakit, seperti berbuat korupsi dan menyengsarakan
rakyat, maka rakyat dari tiga golongan tersebut turut pula merasakan dampaknya.
Oleh sebab itu jika kita perhatikan,
ketika BBM naik, golongan masyarakat yang menolak terhadap kenaikan itu tidak
hanya dari golongan bawah saja. Justru ketiga golongan tersebut bersatu
melakukan penolakan. Sebab, walaupun berbeda level, tetap saja dampak yang
ditimbulkan BBM di rasakan bagi semua walaupun skala rasanya sedikit
berbeda-beda.
Kita bisa menyaksikan, ketika ada
kasus korupsi besar-besaran misalnya, tidak pernah ada gelombang demonstrasi
yang sangat heboh. Berbeda dengan BBM, elemen masyarakat dari yang tua, muda,
kaya, miskin, pejabat, pengusaha, dan buruh pun turut andil melakukan demo. Yang
lebih tragis lagi, banyak fasilitas umum yang dihancurkan begitu saja.
Barangkai, para demonstran paham betul dengan posisi BBM dalam kehidupan ini
sebagai jantung kehidupan. Mereka tidak ingin jantung ini dibuat sakit
dikarenakan akan merepotkan bagi organ tubuh lainnya.
Untuk itu, pencegahan lebih baik
dari pada mengobati. Sebagai rakyat, mereka tahu apabila BBM naik, seluruh
harga-harga akan ikut naik. Sebelum harga BBM naik dan menjalar pada
harga-harga lain, rakyat cenderung melakukan pencegahan melalui aksi
demonstrasi. Ini dipandang lebih baik dari pada yang dilakukan pemerintah yang
lebih memilih mengobati dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Pasalnya, penyakit yang diobati
belum tentu cepat sembuh. Sebaliknya, tidak sedikit penyakit yang semakin
tambah parah ketika diobati. Sebab itu, tidak ada jaminan bahwa penyakit yang
diobati bisa sembuh total. Kalaupun sembuh, terkadang penyakit kambuh lagi.
Disini justru semakin menyengsarakan orang yang merasakan sakit.
Berbeda dengan pencegahan. Ketika
tahu bahwa akan ada bahaya atau penyakit menimpa diri kita, tentu yang kita
lakukan adalah mengindari atau mencegah bagaimana agar penyakit itu tidak masuk
di tubuh kita lebih-lebih menjalar ke sekujur tubuh. Ketika sudah berhasil
melakukan pencegahan itulah, tubuh dapat dipastikan bebas total dari penyakit.
Dari sebab itulah penulis memahami
bahwa gelombang demonstrasi besar-besaran menolak kenaikan BBM bisa dilihat
dari segi pencergahan masyarakat terhadap dampak yang ditimbulkan. Tidak hanya
satu golongan saja yang merasakan dampaknya, ketiga golongan masyarakat
tersebut merasakan hal yang sama.
Penulis adalah Peneliti di IKSAB Center
dimuat di Koran Pagi Wawasan