Jumat, 30 Maret 2012

Etika Sosial dalam Berdemokrasi


Oleh M Abdurrahman Tsani


Selasa, 5 April 2011

Perbincangan kekerasan yang terjadi sejak memasuki awal tahun 2011 ini memang menyita perhatian banyak pihak. Tidak hanya aksi-aksi kekerasan, kerusuhan yang kerap terjadi di masyarakat pun merupakan pekerjaan rumah (PR) dan membutuhkan solusi konkrit supaya kejadian serupa tidak terulang kembali di masa-masa mendatang. Kedua belah pihak yang terlibat saling konflik harus memahami tata cara menjalani kehidupan di negara demokrasi. Demokrasi jangan dipersempit untuk kepentingan pribadi atau golongan, tapi untuk kebersamaan umat manusia.
Sebagai negara multikultural, penerapan demokratisasi berguna untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara dari pertikaian. Sebab, dalam sistem tersebut terdapat ajaran toleransi, keterbukaan, dan menjunjung tinggi HAM (hak asasi manusia) di tengah masyarakat. Hal ini sesuai dengan asas Bhinneka Tunggal Ika yang berfungsi mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam kehidupan yang plural.
Namun, dalam praktiknya, demokrasi seringkali dijadikan alat kepentingan pribadi dan golongan untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak heran, ketika terjadi manipulasi seperti itu muncul gesekan-gesekan yang memicu ketidakstabilan sosial.
Salah satu contoh konkrit yang masih hangat adalah kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, 6 Februari lalu. Kemudian pada 8 Februari terjadi amuk massa di Temanggung yang menyebabkan tempat ibadah dan sekolah rusak.
Terang saja, peristiwa tersebut sangat mencederai penerapan kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Ini mengingat bahwa ternyata masih banyak di antara warga masyarakat masih bersikap eksklusif dan cenderung intoleran. Hal ini menunjukkan bahwa praktik demokratisasi di Indonesia masih terbatas pada skala kenegaraan belaka, seperti pemilu dan otonomi daerah. Tetapi, untuk implementasi dalam konteks horizontal masih jauh dari harapan. Masyarakat masih belum bisa menerima sepenuhnya pesan demokratisasi yang sesungguhnya, yang ternyata memang belum meresap dalam jiwa.
Tawuran antarsuporter sepakbola dan tawuran antarwarga mencerminkan bahwa kehidupan demokratisasi dalam ranah grass root (masyarakat kelas bawah), ternyata masih sebatas teori. Kerusuhan akibat ulah kedua belah pihak yang terlibat konflik menunjukkan sangat minim sikap toleransi. Hal ini merepresentasikan masyarakat belum mampu memaknai etika berdemokrasi secara sosial. Sementara disadari, keterbatasan pemaknaan demokratisasi dapat memicu konflik horizontal.
Damai Sejahtera
Burhanuddin Salam dalam bukunya, Etika Sosial, Asas Moral dalam Kehidupan Manusia mengatakan, tujuan dan fungsi etika sosial pada dasarnya adalah untuk menggugah kesadaran warga masyarakat agar bertanggung jawab sebagai manusia dalam kehidupan bersama dalam segala dimensinya. Etika sosial mengajak kita untuk tidak hanya melihat segala sesuatu dan bertindak dalam kerangka kepentingan kita, melainkan juga mempedulikan kepentingan bersama, yaitu kesejahteraan dan kebahagian bersama.
Lebih lanjut dia mengatakan, etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota manusia. Apabila masyarakat memahami makna etika seperti ini, prinsip-prinsip demokratisasi akan dapat terealisasi di tengah masyarakat.
Dalam konteks sosial, manusia dituntut untuk saling berbagi dalam menjalani kehidupan. Hubungan antarsesama merupakan bentuk kerja sama manusia dalam menuju proses perdamaian dan kesejahteraan. Dengan sikap damai ini akan melahirkan proses kehidupan yang jauh dari sikap anarkis, saling menuduh, dan pemberontak karena tanggung jawab sosial manusia telah dilaksanakan.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat akan berbeda ketika tanggung jawab sosial tersebut dilanggar, hingga nuansa kehidupan akan tampak mencekam. Sebab, masing-masing individu sudah kehilangan sifat kemanusiaan sejati sehingga unsur kebersamaan yang tercermin dalam kehidupan sosial menjadi kabur.
Kehidupan yang ideal tentunya tidak hanya terjadi pada masyarakat pro demokrasi belaka. Dalam aspek kehidupan umat manusia pun, sikap saling menghormati dan tolong-menolong menjadi kunci kesuksesan bersama. Maka dari itu, untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup bernegara, masyarakat Indonesia perlu mempraktikkan etika sosial dengan baik dengan tujuan membentuk karakter bangsa yang berbudi luhur.
Implementasi etika sosial tersebut diperlukan berdasarkan konsep kemajemukan, yang terjadi di negara demokrasi. Hal ini untuk menghindari konflik horizontal manakala perbedaan yang ada sulit untuk disamakan. Apabila masing-masing pihak tetap mempertahankan pendapat yang berbeda, tetapi selama kedua belah pihak sudah punya bekal menghadapi perbedaan berdasarkan etika sosial yang ada, maka konflik horizontal pun akan dapat diminimalisasikan. ***
Penulis adalah Pegiat Komunitas Rindu Alas, Semarang.
dimuat di Koran Suara Karya

0 komentar:

Posting Komentar