Oleh M Abdurrahman Tsani
Selasa, 5 April 2011
Perbincangan kekerasan yang terjadi sejak memasuki awal tahun 2011 ini
memang menyita perhatian banyak pihak. Tidak hanya aksi-aksi kekerasan,
kerusuhan yang kerap terjadi di masyarakat pun merupakan pekerjaan rumah
(PR) dan membutuhkan solusi konkrit supaya kejadian serupa tidak
terulang kembali di masa-masa mendatang. Kedua belah pihak yang terlibat
saling konflik harus memahami tata cara menjalani kehidupan di negara
demokrasi. Demokrasi jangan dipersempit untuk kepentingan pribadi atau
golongan, tapi untuk kebersamaan umat manusia.
Sebagai negara multikultural, penerapan demokratisasi berguna untuk
menjaga keutuhan bangsa dan negara dari pertikaian. Sebab, dalam sistem
tersebut terdapat ajaran toleransi, keterbukaan, dan menjunjung tinggi
HAM (hak asasi manusia) di tengah masyarakat. Hal ini sesuai dengan asas
Bhinneka Tunggal Ika yang berfungsi mempertahankan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam kehidupan yang plural.
Namun, dalam praktiknya, demokrasi seringkali dijadikan alat
kepentingan pribadi dan golongan untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak
heran, ketika terjadi manipulasi seperti itu muncul gesekan-gesekan yang
memicu ketidakstabilan sosial.
Salah satu contoh konkrit yang masih hangat adalah kekerasan terhadap
jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, 6 Februari lalu.
Kemudian pada 8 Februari terjadi amuk massa di Temanggung yang
menyebabkan tempat ibadah dan sekolah rusak.
Terang saja, peristiwa tersebut sangat mencederai penerapan kehidupan
berdemokrasi di Indonesia. Ini mengingat bahwa ternyata masih banyak di
antara warga masyarakat masih bersikap eksklusif dan cenderung
intoleran. Hal ini menunjukkan bahwa praktik demokratisasi di Indonesia
masih terbatas pada skala kenegaraan belaka, seperti pemilu dan otonomi
daerah. Tetapi, untuk implementasi dalam konteks horizontal masih jauh
dari harapan. Masyarakat masih belum bisa menerima sepenuhnya pesan
demokratisasi yang sesungguhnya, yang ternyata memang belum meresap
dalam jiwa.
Tawuran antarsuporter sepakbola dan tawuran antarwarga mencerminkan
bahwa kehidupan demokratisasi dalam ranah grass root (masyarakat kelas
bawah), ternyata masih sebatas teori. Kerusuhan akibat ulah kedua belah
pihak yang terlibat konflik menunjukkan sangat minim sikap toleransi.
Hal ini merepresentasikan masyarakat belum mampu memaknai etika
berdemokrasi secara sosial. Sementara disadari, keterbatasan pemaknaan
demokratisasi dapat memicu konflik horizontal.
Damai Sejahtera
Burhanuddin Salam dalam bukunya, Etika Sosial, Asas Moral dalam
Kehidupan Manusia mengatakan, tujuan dan fungsi etika sosial pada
dasarnya adalah untuk menggugah kesadaran warga masyarakat agar
bertanggung jawab sebagai manusia dalam kehidupan bersama dalam segala
dimensinya. Etika sosial mengajak kita untuk tidak hanya melihat segala
sesuatu dan bertindak dalam kerangka kepentingan kita, melainkan juga
mempedulikan kepentingan bersama, yaitu kesejahteraan dan kebahagian
bersama.
Lebih lanjut dia mengatakan, etika sosial berbicara mengenai kewajiban,
sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota manusia. Apabila
masyarakat memahami makna etika seperti ini, prinsip-prinsip
demokratisasi akan dapat terealisasi di tengah masyarakat.
Dalam konteks sosial, manusia dituntut untuk saling berbagi dalam
menjalani kehidupan. Hubungan antarsesama merupakan bentuk kerja sama
manusia dalam menuju proses perdamaian dan kesejahteraan. Dengan sikap
damai ini akan melahirkan proses kehidupan yang jauh dari sikap anarkis,
saling menuduh, dan pemberontak karena tanggung jawab sosial manusia
telah dilaksanakan.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat akan berbeda ketika tanggung jawab
sosial tersebut dilanggar, hingga nuansa kehidupan akan tampak
mencekam. Sebab, masing-masing individu sudah kehilangan sifat
kemanusiaan sejati sehingga unsur kebersamaan yang tercermin dalam
kehidupan sosial menjadi kabur.
Kehidupan yang ideal tentunya tidak hanya terjadi pada masyarakat pro
demokrasi belaka. Dalam aspek kehidupan umat manusia pun, sikap saling
menghormati dan tolong-menolong menjadi kunci kesuksesan bersama. Maka
dari itu, untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup
bernegara, masyarakat Indonesia perlu mempraktikkan etika sosial dengan
baik dengan tujuan membentuk karakter bangsa yang berbudi luhur.
Implementasi etika sosial tersebut diperlukan berdasarkan konsep
kemajemukan, yang terjadi di negara demokrasi. Hal ini untuk menghindari
konflik horizontal manakala perbedaan yang ada sulit untuk disamakan.
Apabila masing-masing pihak tetap mempertahankan pendapat yang berbeda,
tetapi selama kedua belah pihak sudah punya bekal menghadapi perbedaan
berdasarkan etika sosial yang ada, maka konflik horizontal pun akan
dapat diminimalisasikan. ***
Penulis adalah Pegiat Komunitas Rindu Alas, Semarang.
dimuat di Koran Suara Karya
0 komentar:
Posting Komentar