Jumat, 30 Maret 2012

Kritik Membuka Kesadaran


Oleh : M. Abdurrahman. Gelombang demokrasi di negeri melahirkan krisis kepercayaan terhadap sejumlah pejabat yang duduk di kursi kekuasaan. Kita bisa melihat, krisis kepercayaan tersebut menjelma dalam bentuk kritik tanpa ada batas. Ini merupakan kesempatan yang baru diperoleh masyarakat kita pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998. Kritik yang dialamatkan kepada pejabat publik bukan tanpa dasar, namun sebagai alat kontrol jalannya kepemimpinan agar terjadi keseimbangan (balance).
Keberadaan kritik selama ini tidak lepas dari proses belajar dari sejarah masa lalu. Bisa dikatakan, bangsa Indonesia sekarang ini mengalami perubahan kultural (budaya) di tingkat kepemimpinan dari yang eksklusif menjadi inklusif. Terjadinya proses transformasi itu erat kaitannya dengan sistem demokrasi yang saat ini diterapkan. Sehingga, banyak pihak merasa tidak perlu takut atau khawatir terjadi sesuatu manakala melakukan kritik.

Kritik masih diyakini sebagai alat menggugah kesadaran. Kesadaran di sini memiliki makna merespon "aspirasi" dari perbuatan yang semula keliru atau salah menjadi benar. Munculnya kritik semacam ini tentunya terdapat suatu permasalahan. Selain itu, bagi pihak yang dikritik juga dituntut tidak radikal dalam menanggapi, namun belajar berintrospeksi diri menyelami sisi kekeliruan yang dialami.

Kasus Tenaga Kerja Indonesia (TKI), Ruyati, yang terkena hukuman mati di Arab Saudi beberapa hari yang lalu menuai kritik tajam dari masyarakat, pengamat, akademisi, dan bahkan dari para politikus lain yang dialamatkan kepada pemerintah. Seolah kritik yang ditujukan kepada pemerintah sudah menjadi konsensus bahwa pemerintah tak bertanggungjawab melindungi warga negaranya. Apa yang terjadi kemarin menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran berfikir masyarakat dari yang semula takut menjadi lebih berani dan terbuka dalam menjalankan kritik.

Pengulangan berita TKI yang dilakukan media elektronik maupun cetak jelas tidak ada sekat ketakutan selama menjalankan kritikan. Kebebasan pers dalam melakukan kritik tidak menuai tekanan dari pemerintah. Justru dengan melihat keadaan seperti itulah dapat menjadikan pemerintah bercermin diri melalui media. Bisa dikatakan, kritik yang dominan seharusnya menumbuhkan kedewasaan pemerintah dalam mengurusi negara. Di satu sisi, keberadaan kritik harus juga disyukuri dikarenakan telah menjadi mitra pengembangan atau pengingat agar pejabat publik tidak lupa kepada rakyatnya.

Melawan Kritik

Kebebasan ktitik yang terjadi selama ini ternyata tidak lantas memberi kesadaran penuh. Masih ada pejabat publik yang anti kritik sehingga ketika dikritik tidak lantas introspeksi diri, namun melakukan perlawanan dengan mengkritik (otokritik). Di sini, masing-masing memiliki sudut pandang berbeda sesuai versi yang dianggap sudah benar. Artinya, kritik yang sudah sangat bebas dan terbuka ternyata masih dianggap sebelah mata.

Sebagai tamsil, pendapat pengamat dengan pendapat praktisi (pemerintah) sering terjadi perbedaan. Apa yang dilakukan pemerintah sudah dianggap benar. Sedangkan menurut pengamat, masih terjadi kesalahan dan perlu melakukan ini itu. Otokritik seperti ini menujukkan bahwa walaupun kebebasan sudah berjalan, namun kritik tak ubahnya seperti nyanyian anak kecil. Dengan begitu, secara lahiriah, kebebasan itu menujukkan bahwa sudah terjadi transformasi yang inklusif. Akan tetapi, secara subtansial, kritik tak ubahnya seperti penyakit yang selalu menghambat jalannya pekerjaan.

Banyak lembaga pemerintah yang menuai kritik atas kinerjanya yang dianggap kurang memuaskan, seperti kepolisian, kejaksaan, KPK, DPR, dan sebagainya. Apa yang terjadi, keberadaan lembaga itu masih saja berjalan di tempat. Walaupun begitu, publik tetap melakukan kritikan tanpa henti sebagai bukti kecintaannya pada institusi itu.

Bisa dibayangkan, seandainya kebebasan mengkritik dibungkam, kemungkinan yang terjadi adalah mengulah sejarah masa kelam. Negeri ini akan dipenuhi manusia-manusia yang bertangan besi, benci kritik, bekerja sesuka hati dan memperkaya diri sendiri. Perbuatan dan perkataan pejabat publik akan dianggap sebagai perwakilan dewa yang tak pernah salah.

Dalam hal ini, yang dicari dari sebuah kritik bukanlah kesalahan, namun suatu kebenaran dari kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak selamanya kritik itu penyakit membahayakan. Justru, di balik semua itu, kritik merupakan obat penyembuh kesalahan atau kekeliruan. Sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Setinggi apapun pangkatnya, selama masih sebagai manusia, pasti pernah melakukan kesalahan.

Di samping itu, kebenaran yang dicari dari kritik juga belum tentu absolute. Perlu dilakukan kritik kembali ketika terjadi kesalahan. Wajar saja, pasca tumbangnya Orde Baru yang anti kritik memberi angin segar bagi publik untuk berbenah diri melalui media ini. Dan sikap yang harus ditunjukkan pemerintah pun harus lebih fleksibel; lebih banyak mendengarkan. Kalau pun itu dipandang sangat baik, tidak ada salahnya jika diterapkan dalam rangka perbaikan bangsa. Apakah kritik perlu solusi?

Dalam hal ini, kritik yang membangun tidak lepas dari solusi. Tentunya sebelum terjadinya suatu kritik pertama-tama yang dilihat adalah dari sisi kesalahan dan kelemahan-kelemahan yang seharusnya dibenahi. Sehingga seseorang yang bisa menyalahkan orang lain tentu mengetahui mana yang lebih benar menurut versinya. ***

Peneliti di IKSAB Center, IAIN Walisongo Semarang
Dimuat di Harian Analisa

0 komentar:

Posting Komentar