Jumat, 30 Maret 2012

Pendidikan, Kemiskinan, dan Kebodohan

Judul Buku : Orang Miskin Bukan Orang Bodoh
Pengarang : Muhammad Saroni
Penerbit : Bahtera Buku
Cetakan : Pertama, 2011
Jumlah Halaman : Xii +166
Harga :Rp34.000

Kebodohan bukan berasal dari jauhnya seseorang dari pendidikan. Adakalanya kebodohan itu disebabkan lemahnya ekonomi yang mengharuskan untuk tidak bersekolah. Karena pendidikan sudah sangat tidak manusiawi dalam pandangan orang-orang tidak mampu (miskin). Pendidikan sudah menjadi semacam kapitalisasi sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa merasakannya.

Dalam buku ini dikatakan bahwa orang miskin belum tentu bodoh. Pernyataan itu merupakan bentuk perlawanan terhada opini yang cenderung berkembang dalam benak publik. Mereka sebenarnya punya potensi yang sama dengan orang lain dalam masalah kepintaran. Karena ada faktor kemiskinan itulah, kehidupan mereka menjadi berubah seolah-olah dia dianggap orang yang tidak tahu apa-apa.

Bisa dikatakan, buku ini melakukan kritik bahwa faktor kebodohan disebabkan mahalnya biaya pendidikan. Pendidikan yang ada selama ini belum bisa menuntaskan kebodohan pada masyarakat. Kebijakan pendidikan dianggap semakin memperjelas jurang pemisah antara yang kaya dan miskin. Dan semakin memperjelas pula antara yang pintar dan yang bodoh. Demikian inilah sesungguhnya gambaran yang terjadi pada pendidikan negeri ini.

Namun demikian, lanjut dalam keterangan buku ini, kesadaran pemerintah untuk bisa mengaplikasikan pendidikan untuk seluruh warga masyarakat tanpa pandang bulu belum bisa dilaksanakan. Padahal pendidikan merupakan sesuatu yang bisa mengangkat harkat dan martabat seseorang dari keterpurukan. Seandainya hal itu dilakukan dengan penuh arif dan tanggung jawab oleh negara, kemungkinan orang-orang miskin dapat mendapat angin cerah.

Yang terjadi dalam opini umum bahwa untuk menjadi orang pintar memang harganya mahal. Begitu juga dengan pendidikan. Pertanyaannya adalah, bagaimana untuk bisa memintarkan orang-orang miskin apabila dituntut untuk menjadi orang pintar?

Setidaknya ada semacam gambaran realitas pada masyarakat tentang kehidupan sehari-hari bahwa untuk sekadar mencari makan saja susah, apalagi untuk biaya yang lainnya (halaman 31). Tentunya gambaran ini sudah bukan tabu lagi. Para orang tua yang tak mampu memasukkan anak-anak di sekolah memaksakan mereka untuk bekerja mencari uang. Setiap hari pekerjaan anak-anak itu berkutat dengan kerja keras demi sesuap nasi. Dan pastinya tidak mungkin sanggup lagi memikirkan hal lain, khususnya pendidikan.

Sebab itu subtansi dari buku ini adalah kemiskinan dan pendidikan. Kedua hal itu apabila tidak saling seimbang maka dapat memunculkan pihak ketiga, yaitu kebodohan.

Agar tidak terjadi problematika yang panjang, maka penulis buku memberi solusi mengatasi masalah itu bahwa untuk meningkatkan kualitas hidup warga negara tidak pas jika diterapkan pendidikan mahal. Mayoritas warga Indonesia adalah berada di bawah kelas menengah ke bawah. Dan tentunya yang terjadi di bawah itu adalah orang-orang tidak mampu untuk biaya pendidikan. Jika mereka terus dibiarkan dalam kondisi seperti itu justru sangat membahayakan dikarenakan akan melestarian kebodohan dan kemiskinan.

Untuk itu pemerintah harus bijak dan arif dalam menentukan kebijakan pendidikan. Pemerintah boleh memberlakukan biaya pendidikan semahal mungkin demi suatu kualitas. Tapi jangan lupa sebagian masyrakat Indonesia adalah orang miskin. Pastinya yang paling diutamakan untuk mencapai tujuan itu adalah meningkatkan kemajuan ekonomi rakyat miskin. Apabila ekonomi mereka sudah bangkit, mereka bisa berpartisipasi dalam merasakan pendidikan sebagaimana lazimnya. Selain itu semakin menyempit jurang pemisah antara yang bodoh dan yang pintar.

M Abdurrahman
Pegiat Komunitas Rindu Alas, Semarang

dimuat di Okezone

0 komentar:

Posting Komentar