Jumat, 30 Maret 2012

Menemukan Kejujuran Politik di Bulan Puasa


Oleh : M. Abdurrahman. Kasus pelik yang menimpa mantan politikus partai Demokrat menyimpan sejuta misteri di dalamnya. Tak ada kesadaran dari beberapa pihak yang terlibat untuk berkata jujur. Masing-masing saling menuduh dan menyangkal. Hingga entah sampai kapan muara kasus yang melibatkan Nazarudin ini akan terkuak secara nyata.
Kedatangan bulan Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk introspeksi diri bagi kita, khususnya orang-orang yang jarang berkata jujur. Bukan rahasia lagi, eksistensi dunia perpolitikan kita cenderung diwarnai nuansa ketidakjujuran. Publik yang menyaksikan tingkah laku pejabat atau politikus negeri ini pun semakin kehilangan pijakan. Seolah kata bohong atau tidak jujur sudah menjadi konsensus bersama jika seseorang itu terjun ke dunia politik.

Kesadaran berpuasa sama artinya dengan sadar untuk berkata jujur. Makna itu tidak banyak disadari oleh masyarakat kita. Orang awam hanya memahami bahwa puasa adalah menahan haus, lapar, dan tidak berhubungan suami istri di siang hari. Padahal di balik ibadah ini sangat banyak anjuran untuk menahan nafsu, salah satunya adalah tidak berkata dusta. Hal ini sebagaimana Imam Al-Ghozali bahwa kemampuan orang menjaga diri dari perbuatan itu adalah termasuk kategori saumul khos (puasanya orang khusus), di atas puasanya orang awam.

Sebagai orang awam, di luar bulan suci Ramadhan sering melakukan kebohongan-kebohongan, baik yang disengaja maupun tidak. Dalam konteks Indonesia, kebohongan yang ditunjukkan politikus negeri ini kepada publik bukan barang tabu lagi, seolah sudah mentradisi. Kasus suap Nazaruddin yang melibatkan nama-nama seperti Anas Urbaningrum, Angelina, petinggi KPK, dan sebagainya seolah membenarkan bahwa kejujuran di negeri sudah tak dihargai lagi. Betapapun kebohongan itu dalam skala kecil, tetap saja akan terkuak di sisi Tuhan kelak. Namun, apa yang kita rasakan sekarang ini masih dalam konteks dunia, sehingga perlu diupayakan kebenarannya melalui fakta hukum yang independen.

Menurut hemat saya, kebohongan di negeri ini tidak lebih sekedar fenomena yang tidak perlu ditiru. Kebohongan yang terjadi merupakan politik konspirasi untuk kepentingan pribadi dan golongan agar terhindar dari jeratan hukum. Tidak heran, keberadaan puasa menjadi penentu pertaubatan kaum politikus untuk memperbaiki diri. Sehingga yang diperlukan saat ini bagi bangsa adalah kesuksesan keluar dari nafsu setan yang selalu mengajak kepada kebohongan.

Keberhasilan menemukan hikmah berpuasa terletak pada kemampuan seseorang dalam menjalankan puasa dengan baik. Menurut Rusli Malik (2003: 14), ibadah puasa apabila dijalankan dengan benar, secara simultan akan mengajarkan pribadi dari yang kurang baik menjadi lebih baik. Ini artinya, jika kebohongan yang selama ini semakin banyak terjadi, maka sudah sewajarnya jika pasca menjalani ibadah puasa nanti sudah tidak terlihat kebohongan-kebohongan terjadi di negeri ini. Apakah demikian ini bisa terwujud?

Ukuran keberhasilan menjalankan ibadah puasa bisa dilihat pasca berakhirnya bulan Ramadhan. Kepribadian seseorang akan dinilai apakah terjadi perubahan ke arah lebih baik atau justru sebaliknya. Sehingga publik bisa melihat andaikan pasca bulan puasa, kasus yang menimpa Nazaruddin kok semakin ruwet, ada indikasi bahwa poin yang terkandung dalam ibadah puasa sudah tidak diperlukan lagi. Lebih baik menyelamatkan diri dengan berkata bohong dari pada mengakui.

Secara intelektual, mayoritas politikus negeri ini sudah sangat mumpuni dengan bukti banyak di antara mereka pandai bersilat lidah. Kebenaran bisa diubah menjadi kesalahan, begitu juga sebaliknya. Sedangkan dalam konteks moralitas yang cenderung dipengaruhi nilai-nilai spiritualitas atau keimanan masih sangat kurang. Alhasil, kebiasaan mereka adalah bersekongkol untuk berbuat tidak bijaksana dengan menggelapkan anggaran.

Bagi golongan sufisme, menghindar dari kejaran atau penglihatan manusia masih bisa terjadi. Namun jika menghindar dari penglihatan Tuhan, tidak mungkin terjadi. Hal inilah yang kemudian dalam term sufi disebut sebagai ihsan (menyembah Allah seolah-olah engkau melihatnya, apabila tidak melihatnya, maka dia melihatmu). Walaupun sekarang kebenaran masih belum terungkap, tetap saja para pembohong itu tidak bisa lari dari kejaran Tuhan. Sebab itulah, tidak ada salahnya, Ramadhan ini merupakan momentum mewujudkan diri untuk berintrospeksi, khususnya pejabat negeri ini agar mereka bisa berkata lebih jujur versi sebenarnya, bukan versi pribadi.

Dalam ajaran Buddha mengatakan, manusia terperangkap dalam lingkaran setan ilusi, mengulang masa hidup demi masa hidup pada roda samsara. Seseorang melakukan apa yang dilakukan semua orang lain; tumbuh dewasa, menikah, mempunyai anak, bekerja, jatuh sakit, menjadi tua, dan mati. Dengan cara ini, kehidupan berjalan terus menerus tanpa memberi makna. Tidak ada manfaat yang dipetik. (Inayat Khan, 2002: 132). Sebaliknya, jika roda samsara itu masih bertengger di jiwa pejabat negeri ini, kemungkinan yang terjadi adalah hilangnya nilai kemakmuran bangsa. Justru kehadiran puasa bisa merubah jiwa-jiwa politikus yang bersih terbebas dari manipulasi, kebohongan, dan konspirasi. ***

Penulis Pegiat Komunitas Rindu Alas, IAIN Walisongo Semarang
dimuat di harian analisa medan

0 komentar:

Posting Komentar