Jumat, 30 Maret 2012

Pemimpin Berjiwa Rakyat


Oleh: M. Abdurrahman Badri 

Sejak dimulainya kampanye capres dan cawapres pada 12 Juni 2009 lalu, para kandidat mulai melebarkan sayapnya lebih luas dalam berkampanye. Berbagai visi misi mulai bertebaran. Rakyat yang melihat orasi capres cawapres dengan program yang dijanjikan sulit untuk menentukan pilihan yang tepat. Sebab dari sekian kandidat itu semuanya ingin mesejahterakan rakyat jika terpilih. Lantas bagaimana kriteria pemimpin rakyat yang dapat mengentaskan dari keterpurukan?  
Pemimpin adalah tulang punggung rakyat. Jika pemimpin tersebut tidak bisa berbuat banyak (pasif) bagi rakyat, kesejahteraan rakyat sulit terwujud. Yang ada adalah penyelewengan-penyelewengan jabatan. Dampaknya rakyat semakin jauh dari kesejahteraan.
Untuk mengantisipasi hal itu, calon pemilih harus mempunyai kriteria capres cawapres yang peduli dengan rakyat. Mereka yang peduli dengan rakyat tidak sekedar saat kampanye politik saja, tetapi sebelum dan sesudah menjadi presiden, kepedulian pada rakyat tetap saja diprioritaskan. Bagaimanakah bentuk kepedulian pada rakyat?

Pemberantasan Korupsi

Pemberantasan korupsi merupakan serangkaian visi misi yang tak terlewatkan bagi capres dan cawapres. Visi misi ini sangat urgen mengingat negara Indonesia adalah negara yang rentan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Jika pemberantasan korupsi dijadikan sebagai ajang kampanye, antusiasme rakyat dalam menyambut program ini sangat banyak sekali. Bagi rakyat, pemimpin dapat memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya adalah pemimpin berjiwa kesatria. Karena koruptor yang mencuri uang negara adalah penjahat yang setiap saat selalu bermunculan. Karena itu rakyat menjadi puas dengan kembalinya uang yang  telah dicuri koruptor.
Kasus korupsi yang pernah ditangani KPK jumlahnya sangat banyak sekali, baik di tingkat daerah maupun pusat. Tapi jumlah yang tidak sedikit itu, korupsi masih saja merajalela di negeri ini. Hukuman yang dijatuhkan bagi para koruptor tidak dapat membuat jera. Jika salah satu tertangkap, yang lainnya akan muncul menjadi koruptor-koruptor baru. Dalam pandangan mereka, biarpun tertangkap, kehidupan layaknya hidup normal masih dapat mereka rasakan. Sebab hukuman yang mereka terima, biasa-biasa saja alias tidak bisa membuat jera.
Dari sebab itu seorang calon pemimpin negara harus mempunyai ketegasan dalam memberantas korupsi.  Ia tidak boleh lemah dalam menindak para koruptor. Jangan hanya memberantas dan menangkap saja. Hukuman setimpal yang diberikan pada koruptor juga perlu diterapkan. Agar setiap koruptor yang tertangkap merasakan siksaan pedih sehingga orang yang melihat merasa takut untuk melakukan korupsi.
Pemberantasan korupsi telah berjalan lancar. Tapi untuk membuat jera pelaku tidak selancar dalam menangkap koruptor. Cara pemberantasan seperti ini mirip dengan jargonnya orang hutang “gali lubang tutup lubang”. Ini artinya, satu koruptor tertangkap, koruptor-koruptor baru akan bermunculan.
Dalam hal ini kendala dalam pemberantasan korupsi adalah dalam segi sistem hukumnya. Negara kita tidak berani menerapkan hukuman mati atau gantung bagi koruptor. Jika kondisi masih seperti ini, korupsi tidak akan pernah hilang di negara kita
Pemimpin Yang Berperasaan
Kondisi bangsa Indonesia saat ini masih jauh dari sejahtera. Untuk mengentaskan kondisi seperti ini diperlukan seorang pemimpin bangsa yang mempunyai perasaan sebagaimana yang dirasakan oleh rakyat. Negara dapat dikatakan makmur jika rakyatnya hidup sejahtera dan damai. Akan tetapi, kondisi seperti itu masih jauh dari realita bangsa kita. Kemiskinan, pengangguran, PHK dan sebagainya masih banyak terjadi.
Ketika rakyat kesulitan merasakan beban hidup ini karena dampak krisis global, seorang pemimpin harus bisa merasakan sebagaimana yang dirasakan rakyat. Jika mencari uang sulit dikarenakan krisis global dan berdampak pada perusahaan yang gulung tikar, pemimpin harus bisa berhemat dalam pengeluaran anggaran. Sikap seperti ini merupakan bentuk simpatisan dari seorang atasan pada rakyat sipil biasa.  Jangan sampai dia bersukaria di atas penderitaan rakyat dengan menghambur-hamburkan uang untuk keperluan yang tidak penting.
Rakyat sipil yang mencari nafkah di pinggir jalan harus dilindungi. Mereka mempunyai hak untuk mencari rizki dimana pun berada, tak terkecuali di jalanan. Jika mereka diusir secara paksa karena membuat pemandangan kota kurang indah, ini sama halnya kolonialisasi hak sipil. Bila hendak mengusir, jaminan ganti rugi berupa tempat dan modal harus diberikan pada rakyat. Bagi rakyat, mencari uang di pinggir jalan sangat sulit. Belum tentu keuntungan yang diperoleh dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tapi yang terjadi sebaliknya, pedagang kaki lima selalu mendapat perlakuan tidak baik dari Satpol PP. Jika mereka merasakan sebagaimana yang dirasakan pedagang kaki lima ketika mencari uang di pinggir jalan, ia tidak  akan tega melihat saudaranya terlantar dalam mencari rizki.
Oleh karenanya, pemimpin ke depan harus berjiwa merakyat.  Ia paham dengan apa yang dirasakan rakyat. Setiap kesulitan-kesulitan yang dirasakan  rakyat selalu diperhatikan. Dengan perhatian itu dia sama halnya mengentaskan keterpurukan rakyat dari kehidupan yang kejam.
Moral Baik
Moral adalah ukuran baik tidaknya seseorang. Ia tidak bisa disamakan dengan materi maupun pengetahuan. Sebab moral merupakan penentu dari kemakmuran suatu negara bagi pemimpin. Jika pemimpin bermoral jelek, seperti korupsi, pelanggaran HAM, berbuat dzalim, negara yang dia pimpin tidak akan mengalami kemajuan, yang terjadi adalah kemiskinan, pengangguran, dan keterpurukan dalam berbagai hal. Oleh karena itu pemimpin yang bermoral baik sangat diperlukan dalam sebuah negara. Di tangan dialah, kemajuan dan kemakmuran negara dapat tercapai.
Nabi pernah bersabda: sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. Hal ini memberi gambaran bahwa manusia bermoral jelek lebih banyak dari pada bermoral baik. Jadi, moral jelek sebagaimana yang dilakukan para anggota parlemen dan beberapa pemimpin daerah adalah suatu fitrah manusia. Jika dihadapkan dengan sejumlah harta atau kekuasaan, segala cara akan dilakukan. Tapi hal ini jangan sampai dijadikan sebagai justifikasi bahwa korupsi adalah boleh dan sudah ditetapkan tuhan. Oleh karenanya, dalam memilih pemimpin pada 8 Juli nanti, kriteria moral untuk masing-masing kandidat perlu diperhatikan.  Jangan sampai seorang pemimpin negara bermoral jelek, baik dalam segi agama, sosial, maupun negara.
Pintar dan kaya tidak menjamin sebuah negara bisa maju jika tidak didukung dengan moral yang baik. Dengan begitu, moral adalah penentu masa depan Indonesia ke depan. 
dimuat di Koran Sore Wawasan

0 komentar:

Posting Komentar