Jumat, 30 Maret 2012

Kontrak Belajar Sebatas Janji



DOSEN adalah pembimbing mahasiswa dalam mengarungi dunia keilmuan di kampus. Karena itu, dosen harus arif, jangan mengedepankan kepentingan pribadi, lalu meninggalkan mahasiswa begitu saja.

Dosen punya kuasa penuh atas mahasiswa. Dosen berhak menentukan dan mengatur jadwal serta kepentingan selama kuliah. Namun kesepakatan seperti kontrak belajar, dari waktu masuk kuliah hingga tingkat kehadiran, terkadang sebatas janji, sulit terealisasi. Muncul kesan, kesepakatan hanya berlaku bagi mahasiswa. Namun tidak bagi dosen.

Tak jarang dosen absen dalam perkuliahan. Entah alasan sibuk kuliah atau banyak kegiatan di luar. Tak pelak, banyak waktu mahasiswa jadi kurang berguna. Dampaknya, mahasiswa pun telantar.

Ketakhadiran dosen jelas menghambat karena materi kuliah menumpuk. Sisa waktu singkat tentu tak layak untuk menyelesaikan materi secara maraton karena bisa mengabaikan penguasaan materi. Nilai-nilai yang seharusnya jadi pijakan mahasiswa untuk lebih berwawasan pengetahuan tak terwujud. Padahal, kuliah adalah salah satu media perkembangan keilmuan mahasiswa.

Belajar dengan sistem kebut jelas-jelas pembodohan bagi mahasiswa. Mahasiswa bukan diajar mengerti dan memahami ilmu, melainkan dilatih menyelesaikan materi secara tergesa-gesa. Salah satu landasan pembenaran sistem itu adalah orientasi nilai. Sebab, nilai dianggap kebutuhan penting penambah indeks prestasi. Jadi mahasiswa akan melakukan apa pun saran dosen, entah dengan belajar sistem kebut atau cara lain.

Kemurahan saat memberikan nilai dianggap solusi tepat untuk mengatasi tindakan dosen yang sering bolos mengajar. Mereka memakai hak kuasa dengan memberi nilai sebaik mungkin.

Jika nilai sebatas simbol keaktifan, sedangkan substansi ilmu dalam kuliah terletak pada pembelajaran untuk membentuk karakter mahasiswa sehingga berwawasan luas, jangan harap nilai mampu mengatasi kebodohan mahasiswa.

Orientasi Nilai

Untuk memperoleh nilai baik sangat mudah. Mahasiswa cukup hadir dalam setiap kuliah dan mengerjakan tugas secara bertanggung jawab. Namun nilai bagus belum tentu mencerminkan kecerdasan. Ketika mahasiswa mendapat nilai bagus, barangkali karena sudah menyelesaikan perintah dosen, dari tingkat kehadiran sampai membuat makalah, walau penguasaan materi biasa-biasa saja.

Sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah berorientasi nilai. Ujian nasional, misalnya, sampai sekarang belum mampu menjawab problematika pendidikan di negeri ini. Walau ujian nasional untuk meningkatkan mutu pendidikan, tetap saja anak didik belum menunjukkan kualitas terbaik.

Mutu pendidikan kita masih kalah dari negara-negara tetangga. Namun pemerintah tetap memberlakukan peraturan itu. Padahal, pendidikan tahap akhir yang berorientasi nilai tak bisa menciptakan kualitas manusia yang beradab dan berwawasan luas. Sebab, tak ada perhatian terhadap penguasaan materi. Mereka hanya mengejar target nilai. Untuk memperoleh nilai bagus, mereka pun menghalalkan segala cara.

Selama ujian nasional, banyak pihak berlaku curang. Sebab, nilai menjadi sesuatu yang melebihi segalanya. Padahal, nilai sangat mungkin direkayasa. Lain dari kecerdasan yang bersifat abstrak dan sulit direkyasa.

Jadi dalam mendidik mahasiswa, dosen seharusnya memperhatikan aspek lahiriah dan batiniah. Aspek lahiriah bisa dilihat dari seberapa jauh mahasiswa mampu menguasai materi kuliah.

Aspek batiniah lebih menekankan pada penerapan ilmu dalam kehidupan nyata. Untuk menguasai kedua aspek itu butuh kepedulian terhadap anak didik. Jangan sampai dosen pergi begitu saja saat semestinya mengajar. Kata pepatah, waktu adalah uang dan waktu adalah pedang. Bila tak menggunakan waktu dengan baik, seseorang bisa merugi dan celaka. Jadi nilai jelas bukan solusi yang tepat, melainkan hanya rekayasa untuk menutupi kebodohan. (51)

- Siska Arifatun, mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang
Suara Merdeka

0 komentar:

Posting Komentar