Jumat, 30 Maret 2012

Ketika Gayus Punya ‘Saudara’

Sabtu, 03 Maret 2012


GAYUS Halomoan Tambunan, tersangka
kasus pajak seolah memiliki
‘saudara’ yang serupa dengan
perilaku korupnya. Kejaksaan Agung menerima
laporan tentang rekening mencurigakan
yang dimiliki Dhana Widyatmika
(DW). Diduga, uang milyaran rupiah di
dalam rekening itu berkatan dengan tindak
kejahatan sebagaimana yang pernah
dilakukan Gayus.
Seiring perkembangan masa, praktik kejahatan
mengalami perkembangan bentuk.
Berbagai macam kebutuhan hidup,
baik primer, sekunder, maupun tersier
menjadi dasar lahirnya kejahatan tersebut.
Sementara rasionalitas kita sudah tidak
bisa diajak kompromi. Himpitan ekonomi
dan persaingan hidup yang keras
bisa jadi pangkal dari segala macam kejahatan.
Hazrat Inayat Khan (2002: 327) membagi
ego dalam tiga macam bentuk: ego
fisikal, ego mental, dan ego spiritual. Ego
fisikal cenderung lebih mengutamakan kepentingan
“badan” seseorang. Sementara
ego mental cenderung pada pemenuhan
“pemikiran” dan ego spiritual lebih pada
“keyakinan”.
Di era globalisasi, masyarakat cenderung
memburu pemenuhan ego fisikal. Krisis
ekonomi melahirkan banyak pengangguran.
Sempitnya peluang kerja membuat
hidup tidak pernah lepas dari persaingan.
Kepuasan fisik dapat tercapai apabila segala
macam kebutuhan fisikal terpenuhi
baik. Untuk memenuhi kebutuhan itulah,
tidak jarang segala macam cara dilakukan.
Individu gagal menjaga ego fisikal agar
tetap pada koridor yang ada. Sebabnya,
kuasa nafsu cenderung tak mampu
dibendung. Hasrat ingin memiliki dan
menguasasi segalanya tidak pernah habis.
Gaji pokok yang diterima tidak disyukuri.
Pada akhirnya, orang semacam ini selalu
ingin sesuatu yang lebih banyak walaupun
gajinya tidak cukup untuk memenuhi
semua itu. Dia akan mencari penghasilan
di luar gaji.
Keseimbangan
KASUS Gayus Tambunan dan Dhana
Widyatmika merupakan contoh konkret
keserakahan manusia terhadap harta. Keserakahan
tumbuh berawal ketika nafsu
utuk memiliki sesuatu tidak bisa dikontrol.
Kekayaan yang dimiliki selalu saja dianggap
masih kurang. Sehingga lahirlah jiwa
yang diperbudak oleh harta.
Mensyukuri kekayaan yang diberikan
Tuhan sangatlah penting. Apa pun yang
kita miliki dan yang kita dapat, semua
itu semata-mata karunia Tuhan. Dengan
mensyukuri karunia Tuhan, maka
kita telah menjaga ego fisikal dari segala
macam rayuan nafsu setan yang selalu
tidak masuk akal.
Dalam hal ini, ego mental (pikiran) bertugas
memberi arahan kepada ego fisikal,
bahwa kekayaan yang sudah menumpuk
banyak patut disyukuri. Ego mental tentu
lebih bersifat rasional. Ia enggan melakukan
kejahatan demi meraih harta sebanyak
mungkin.
Sebagai contoh, Gayus mendapat kekayaan
yang jumlahnya sangat banyak disebakan
ego mentalnya sudah tidak berfungsi
lagi. Uang pajak yang seharusnya digunakan
untuk membangun negara justru
jadi uang suap yang dinikmati segelintir
orang. Andaikan ego mental dapat berjalan
baik, barangkali Gayus akan memperhatikan
dampak lebih panjang atas perbuatannya
itu.
Selain itu, ego spiritual (keyakinan)
menjadi penyeimbang terhadap nalar logis
yang ada. Segala macam perbuatan
yang dilakukan manusia tidak akan lepas
dari pengamatan dan pengetahuan Tuhan.
Keyakian semacam ini besumber
dari agama. Dengan keyakinan yang kuat
dalam diri manusia itulah, ketakutan untuk
berbuat sesuatu yang jahat dapat diminimalisasi.
Dalam Islam, segala macam bentuk perbuatan
besar dan kecil akan mendapat
balasan dari Tuhan kelak. Tidak ada yang
bebas dari pembalasan. Untuk itulah, kemampuan
menyinergikan ego fisikal, mental,
dan spiritual menjadi penting mengingat
godaan manusia terhadap harta di
masa sekarang jauh lebih banyak. Mereka
yang mampu selamat dari rayuan itu
hanya orang-orang yang kuat menjaga diri,
menjaga pikiran, dan menjaga iman.
Tidak mungkin jika seseorang hanya
mementingkan salah satu dari tiga ego
tersebut. Ketiganya saling berhubungan
dalam rangka mereguk kesempurnaan
jiwa.
Sayangnya, kecenderungan manusia
modern lebih banyak menghamba pada
materi. Materi dianggap segalanya. Mereka
rela melakukan apa pun demi mendapatkannya.
Entah melalui korupsi, suap, atau
pencucian uang.
Walaupun dipenuhi dengan materi,
dunia jelas memiliki batas-batas tertentu.
Konsep sedekah dan zakat memberi
gambaran bahwa menjadi manusia harus
memiliki jiwa sosial terhadap sesama. Antara
manusia satu dengan yang lain dituntut
berbagi dalam hal kebaikan.
Dalam konteks ini, kasus Gayus dan
Dhana tidak jauh beda dengan pemalakan
yang dilakukan preman. Merasa punya
kuasa, orang lain diperas begitu saja. Sedangkan
keuntungan hanya didapat sepihak.
Seandainya uang pelicin itu digunakan
untuk membayar pajak secara normal,
jelas akan memberi dampak positif bagi
masyaraat dan bangsa. (Penulis adalah
pegiat Komunitas Rindu Alas IAIN Walisongo
Semarang)
dimuat di Harian Pelita

0 komentar:

Posting Komentar