M Abdurrahman Tsani, Pegiat Komunitas Rindu Alas
Zaman
dulu, guru disebut sebagai 'pahlawan tanpa tanda jasa'. Sebutan itu
melekat berkat dedikasi dirinya terhadap dunia pendidikan. Produk yang
dikeluarkan dari dunia pendidikan itulah - tidak sedikit - orang yang
menjadi pintar, kaya, bermoral, dan bertanggung jawab. Tidak bisa
dibayangkan jika dalam dunia pendidikan itu tanpa peran seorang guru,
sangat mustahil bisa mencetak sosok generasi bangsa yang berkualitas.
Dunia sudah berubah. Begitu juga dengan nasib seorang guru. Cap
'pahlawan tanpa tanda jasa' yang dulu disandang oleh guru mempunyai
makna sangat mendalam. Guru berjuang bukan untuk tujuan materi. Namun,
merupakan panggilan hati untuk mendidik anak terbebas dari kebodohan.
Risiko perjuangan ini berdampak pada kehidupan guru dan keluarganya. Hal
ini bisa kita lihat perbandingan ekonomi guru masa kini (di era
sertifikasi) dan masa lalu (sebelum sertifikasi).
Sangat jelas
bahwa guru di masa lalu, gaji yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan orientasi guru tidak lebih hanya
sekedar mengajar dan berupaya mencerdaskan anak didiknya. Karakteristik
itu terlihat sangat murni. Oleh sebab itu, guru di masa lalu tidak
banyak mendapat kecaman, cacian, atau bahkan kritikan. Guru masa lalu
dianggap punya jiwa murni sebagai pengajar sekaligus pendidik. Sangat
wajar bila dia diberi gelar 'pahlawan'.
Lantas, bagaimana dengan
kehidupan sosok guru sekarang? Sertifikasi merupakan program pemerintah
yang berupaya meningkatkan kesejahteraan guru dengan sejumlah
tunjangan. Artinya, di masa sekarang profesi guru sangat diperhatikan
oleh pemerintah. Nasib guru sudah berubah, lebih baik dibandingkan
dengan zaman dulu. Sehingga, dalam konteks ini, terkadang terjadi
kontroversi mengenai profesi guru, antara yang pro dan kontra.
Bagi yang kontra, profesi guru dianggap sangat sakral dan mulia. Ia
tidak boleh disusupi kepentingan-kepentingan lain yang bisa
menghilangkan kemuliaan profesi itu. Sebagaimana yang terjadi di
desa-desa, profesi guru mengalahkan status orang-orang kaya. Guru sangat
dihormati dan disegani. Walaupun tidak mempunyai harta banyak, dalam
anggapan masyarakat sangat mulia. Bisa dikatakan, orang miskin yang
dihormati dan disegani adalah seorang guru.
Di sini, paradigma
masyarakat tentang profesi guru melebihi pejabat. Sebab, dari tangan
guru itulah, anak-anak mereka bisa menjadi sukses, pintar, dan kaya.
Selain itu, profesi guru juga sebagai simbol moralitas yang berjalan.
Artinya, guru itu - sudah diklaim - selalu mengajarkan kebaikan-kebaikan
melalui perbuatannya.
Pepatah yang mengatakan "guru kencing
berdiri, murid kencing berlari" sebagai justifikasi guru yang seharusnya
mencerminkan kepribadian apik terhadap anak didiknya dan masyarakat.
Tidak heran apabila guru di tengah masyarakat menjadi pusat perhatian
karena dianggap sebagai sosok yang bermoral. Sebab, kosa kata 'guru'
sendiri memiluki arti positif dalam bahasa Jawa, yakni sing digugu lan
sing ditiru (yang didengar dan dicontoh).
Dengan begitu, guru
masa lalu dianggap tidak memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Yang
terlintas di benak mereka hanya menjadi pendidik sejati. Hal ini
dikarenakan tidak adanya tunjangan fungsional dari pemerintah, sehingga
mamantapkan hati dan pikiran mereka untuk lebih fokus pada pengabdian
pendidikan.
Berbeda setelah adanya program sertifikasi guru.
Profesi guru dianggap sangat menjanjikan. Minat masyarakat, terutama
lulusan perguruan tinggi untuk menekuni profesi guru, kian besar. Hal
ini tidak lepas dari segudang tunjangan yang diberikan pemerintah. Bisa
dikatakan, penghasilan guru bisa berlipat-lipat, yakni antara gaji pokok
guru dan tunjangan-tunjangan. Sehingga, pendidikan jurusan guru
dianggap memiliki masa depan jelas, yang lebih menjanjikan bagi
kesejahteraannya.
Tentunya pemberian tunjangan itu, idealnya,
harus diimbangi dengan semangat kualitas para guru, kedisiplinan, dan
kejelasan sistem pengajaran. Sebab itulah, dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Mendiknas) Nomor 11 Tahun 2011, guru sertifikasi
harus mengikuti pelatihan profesi guru dan harus mempunyai gelar strata
satu (S1). Hal ini setidaknya sebagai bekal untuk meningkatkan profesi
guru agar lebih berkualitas. Seorang guru tidak hanya dituntut mengajar,
namun juga harus bisa membuat Rencana Pelaksana Pembelajaran (RPP)
sebelum proses belajar.
Walaupun begitu, satu hal yang
mengganjal di hati publik bahwa profesi guru sertifikasi cenderung
berorientasi pada materi. Secara naluriah, setiap orang yang hidup pasti
membutuhkan itu untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya. Akan tetapi,
orientasi tersebut tidak boleh menghilangkan stigma jiwa kepahlawanan
seorang guru sebagai pengabdi untuk masyarakat di bidang pendidikan
karena setumpuk materi yang dikejar. Kalau orientasi ini kian menguat
maka bisa menjadi problem sosial karena yang dituju guru bukanlah
mengajar, tapi mencari uang.
Tidak dapat dipungkiri, program
sertifikasi semata-mata berasal dari pihak pemerintah yang hendak
menjadikan kualitas hidup guru bisa lebih sejahtera. Niat baik itu tidak
bisa disalahkan. Yang perlu diluruskan adalah pihak-pihak yang sudah
keliru mamaknai tujuan itu. Bahwa profesi guru yang dianggap pahlawan
(hero) bagi masyarakat, jangan sampai berubah seiring biasnya orientasi.
Dengan begitu harus terjadi keseimbangan niat antara berjuang dan
mencari nafkah. Berjuang merepresentasikan bahwa guru memang benar-benar
hendak menciptakan anak didiknya agar terbebas dari kebodohan dan
menjadi manusia yang bermoral. Nilai ini perlu dipelihara. Sebab,
kepahlawanan guru, menurut publik, terletak pada posisi ini. Orang sudah
yakin bahwa dengan memasukkan anak didiknya ke dalam dunia pendidikan,
baik formal maupun non formal, diharapkan dapat terbentuk
manusia-manusia pintar yang utuh dan bermoral. ***
dimuat di Suara karya dan Haluan Kepri
0 komentar:
Posting Komentar