Jumat, 30 Maret 2012

Tiga Alasan Menolak RUU DIY

Judul Buku: Monarki Yogya, Inkonstitusional?
Pengarang: Kolumnis dan Wartawan Kompas
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
Cetakan: Maret, 2011
Tebal Halaman: xvi + 272
Harga: Rp 48.000

Beberapa waktu lalu, keistimewaaan Yogyakarta di usik oleh pemerintah pusat (menteri dalam negeri) tentang rencana diadakannya pemilihan umum gubernur dan wakil gubernur DIY secara langsung, bukan penetapan. Sontak ribuan rakyat Yogyakarta geram melihat rencana itu. Mereka merasa dengan adanya rencana tersebut dapat mengikis keistemwaan Yogyakarta yang bercirikhas kerajaan.

Buku “Monarki Yogya, Inkonstitusional? “ merupakan kumpulan artikel yang pernah dimuat di Kompas yang membahas tentang keistimewaaan Yogyakarta. Buku tersebut mengajak para pembaca untuk belajar sejarah Yogyakarta, mulai dari sejak berdirinya, perjuangan melawan penjajah, bergabung dengan NKRI, keabsahan otonomi daerah yang istimewa melalui dalil konstitusi, dan sebagai simbolis kebudayaan jawa. Setidaknya dengan mengetahui latarbelakang itu memunculkan suatu jawaban terhadap RUU Yogyakarta yang tidak diterima oleh rakyat Yogyakarta.
  
Buku ini memberi tiga alasan mengapa RUU DIY banyak ditolak oleh masyarakat Yogyakarta. Ketiga argumentasi tersebut meliputi: sejarah Keraton Yogyakarta terhadap kemerdekaan RI, yuridis ketatanegaraan, dan kebudayaan.
  
Pertama, Sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta tidak lepas dari induknya, Kerajaan Mataram Solo yang sudah berpisah 200 tahun yang lalu. Pada saat Indonesia merdeka, posisi Keraton Yogyakarta masih sebagai kerajaan yang merdeka dan belum bergabung dengan NKRI. Presiden Soekarno tidak setuju bila Hemengku Buwono (HB) IX mengatur sendiri Yogyakarta. Dia diberitahu anggota PPKI terutama GBPH Puruboyo memberi informasi bahwa sultan tetap setia pada Republik Indonesia. Mendengar kabar itu, pada tanggal 19 Agustus 1945 Bung Karno mengirim surat kepada Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, yang intinya mengakui keberadaan keduanya sebagai penguasa daerah Yogyakarta dan memberi status khusus kepada keduanya (hlm 18). Kemudian pada tanggal 5 September 1945, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan amanat bergabung dengan NKRI.
  
Dalam sejarahnya, ibu kota Indonesia pernah pindah ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946 sampai 1949. Pada saat itu Belanda kembali lagi ke negeri ini lewat bantuan sekutu, dan mengancam keberadaan presiden masa itu. Sehingga Soekarno dan istrinya, Fatmawati, diungsikan ke Keraton Yogyakarta beserta pengikutnya.
  
Kedua, yuridis ketatanegaraan. Keistimewaan Yogyakarta telah diakui oleh Undang-Undang No 3 tahun 1950 tentang pembentukan kepala daerah dan predikat keistimewaannya. UU itu sebagai landasan bahwa keistimewaan DIY tidak sama dengan daerah lainnya. Sebab melalui UU tersebut seharusnya keistimewaan Yogyakarta lebih bisa dipertahankan sebagaimana daerah-daerah lainnya yang bercirikan keistimewaan. Namun, DIY tidak memiliki RUU rinci tentang keistimewaan daerah seperti Provinsi Nanggro Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (hlm. 74). 

Walaupun begitu, Undang-Undang No 3 tahun 1950 memiliki kedudukan jauh lebih tinggi dari pada Undang-Undang No 5 tahun 1974 yang mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah. Sebab ada asas hukum yang berlaku “lex speciale derogate lex generale”, hukum yang khusus meniadakan hukum yang umum (hlm. 10). Dalil ini dijadikan sebagai argumentasi penolakan RUU yang menginginkan gubernur dan wakilnya dipilih secara langsung.
  
Ketiga, unsur kebudayaan. Keraton Yogyakarta memiliki simbol kebudayaan Jawa yang sampai saat ini masih tetap dilestarikan. Kebudayaan unik yang terdapat di Keraton Yogyakarta diantaranya ada buku kuno, serat, babad, dan tembang yang masih tersimpan di sana. Di sana juga mengoleksi jenis tari-tarian, seperti tari bebaya, sirimpi, golek, dan maeso lawenga.
    
Tradisi agung atau adat istiadat yang masih tetap lestari adakalanya berupa tradisi jumenengan, tinggalan dalem, labuhan laut, dan upacara di gunung Merapi yang masih tetap eksis sampai sekarang (hlm. 87). Keberadaan keraton  dianggap sebagai pihak yang memelihara tradisi Jawa kuno. Keraton dianggap sebagai simbol kebudayaan jawa yang sampai sekarang tetap teguh menjaga kelestariannya.
Beberapa panelis dalam buku ini berharap jangan sampai kekayaan dan kekuasaan budaya Yogyakarta terhapuskan oleh konsep politik. Kekhasan pemerintah di Yogyakarta adalah kerajaan. Otonomi dipandang tidak hanya dari konsep politik, tapi sisi budaya, kekhasan, dan atau keistimewaan. Sebab kerajaan adalah kekayaan dan keindahan keraton.
  
Dengan begitu, setidaknya buku ini memberikan sebuah jawaban terhadap maraknya penolakan rakyat Yogyakarta yang tidak terima apabila gubernur dan wakilnya dipilih secara langsung, tidak ditetapkan.

M Abdurrahman
Pegiat Komunitas Rindu Alas IAIN Walisongo Semarang

dimuat di Okezone

0 komentar:

Posting Komentar