Jumat, 30 Maret 2012

Kematian Osama: Harapan Kembalinya Citra Positif Islam

Oleh M. Abdurrahman*

“Momen keberhasilan penangkapan Osama seharusnya merupakan berkah tersendiri bagi Islam. Sebab, sebagaimana yang dikatakan Obama, bahwa Amerika tidak perang melawan Islam. Tetapi perang melawan terorisme. Pernyataan Obama itu secara implisit dapatlah kita maknai bahwa Islam bukan identik dengan terorisme. Islam adalah agama yang cinta damai, Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Mereka yang berbuat teror tidak berhak untuk mengatakan atas nama Islam. Kita dapat berharap, pasca kematian Osama citra negatif tentang Islam lambat laun bisa terpulihkan kembali.”
Setelah kurang lebih sepuluh tahun diburu, kali ini Osama bin Laden berhasil ditangkap dalam keadaan terbunuh. Bagi rakyat Amerika, kabar kematian Osama ini tentu sangat istimewa. Dunia internasional pun menyambut gembira dengan berbagai ragam bentuk acara. Begitu juga dengan umat Islam di seluruh dunia. Tampak ada kata sepakat untuk memerangi terorisme yang telah sekian lama mencoreng wajah agama (Islam).
Peristiwa 11 September 2001 adalah cikal bakal Islam mendapat stigma negatif sebagai sumber terorisme. Pemerintahan Bush saat itu meyakini bahwa pihak yang harus bertanggungjawab terhadap peristiwa teror di menara kembar WTC di New York,  adalah Al-Qaedah. Sejak saat itulah, Osama sebagai pemimpin Al-Qaedah menjadi orang yang terus diburu.

Citra Islam di mata dunia internasional serta merta menjadi buruk. Islam tiba-tiba tampil sebagai agama radikal yang suka menebar teror kepada orang lain. Pandangan negatif tersebut mengimbas kepada seluruh umat Islam di seluruh dunia. Irak yang dianggap memiliki senjata pemusnah massal, dan itu tentu saja adalah ancaman teror bagi dunia, menjadi sasaran penyerangan oleh pihak Sekutu. Afganistan juga menjadi target operasi militer pihak Sekutu untuk menumpas gerakan teroris Al-Qaedah.

Opini Parsial
Fenomena terorisme yang lekat dengan citra Islam akibat ulah Al-Qaedah pimpinan Osama, tidaklah sepenuhnya merepresentasikan keseluruhan umat muslim. Pasalnya, banyak umat muslim yang justru benci kepada terorisme karena dianggap telah merusak citra agama Islam. Islam sendiri tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berbuat radikal yang mencelakakan orang lain.

Perbedaan yang terjadi dalam internal Islam menyebabkan lahirnya bermacam-macam golongan. Perbedaan tersebut tidak lepas dari pemaknaan sebuah teks (kitab suci) yang dianggap masih samar. Golongan yang menggunakan perspektif tekstual akan bersikap sebagaimana bunyi teks. Sedangkan golongan yang menggunakan sudut pandang kontekstual cenderung fleksibel dalam melakukan pemaknaan terhadap teks sesuai kemaslahatan.

Dari kerangka seperti itu, salah satu tema sentral dalam teks yang sering diperselisihkan adalah tentang makna jihad. Tidak bisa dimungkiri, jihad untuk memerangi orang kafir digunakan oleh kaum radikal sebagai basis ideologisnya. Di pihak lain, terdapat kalangan yang tidak sepaham dengan cara pandang seperti itu, dan justru terkadang melakukan perlawanan melalui penafsiran terhadap kitab suci yang dianggap telah dipolitisisasi.

Inilah yang kemudian melahirkan beragam warna Islam. Tidak selamanya Islam beranggapan bahwa jihad, apalagi secara membabi buta tanpa melihat situasi dan kondisi, merupakan tindakan yang dibenarkan dan diwajibkan. Justru konsep jihad oleh mereka yang punya kepentingan teror tersebut sebenarnya tidak murni dari pemahaman Islam. Mereka berbuat seperti itu seringkali lebih karena latar belakang politik.

Osama bin Laden ketika mendirikan Al-Qaedah juga berlatar belakang politik. Sebelum mendirikan organisasi itu, Osama adalah partner Amerika saat tentara merah Uni Soviet masuk menginvasi Afganistan.  Namun, persahabatan itu berubah secara diametral semenjak Amerika menaruh tentaranya di tanah Arab ketika terjadi perang teluk. Osama menganggap bahwa tanah suci itu tidak berhak diinvasi oleh pihak manapun. Sebab itulah Osama merencanakan balasan sebagai bentuk perlawanan.

Semenjak itulah, agama tidak pernah lepas dijadikan sebagai alat legitimasi terorisme. Prinsip Islam yang digunakan adalah jihad. Mereka memoles arti jihad untuk tujuan melawan pihak yang dalam anggapan mereka adalah kafir. Dengan modus pemaknaan konsep jihad seperti itu, jihad lalu menjadi kental muatan politiknya.

Umat Islam yang lain jelas tidak sepaham dengan model pemaknaan seperti itu. Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa mereka yang telah melegitimasi jihad sebagai perang seperti halnya para teroris itu sudah pasti tidak punya legitimasi untuk mengatasnamakan umat Islam yang lainnya.

Menolak Terorisme
Berbeda dengan fenomena visualisasi kartun Nabi Muhammad beberapa tahun lalu yang menyulut kemarahan umat Islam internasional, umat Islam internasional justru tidak banyak yang marah ataupun sedih ketika menyaksikan kabar tewasnya Osama. Dari sini, saya beranggapan bahwa bisa disimpulkan bahwa terorisme tidak diterima umat Islam di belahan bumi manapun. Hanya sebagian kelompok saja yang menerima kegiatan teror seperti itu.

Respon umat Islam demikian, saat Osama dikabarkan tewas, adalah sudah tepat. Umat Islam tidak perlu berbuat anarkis. Momen keberhasilan penangkapan Osama seharusnya merupakan berkah tersendiri bagi Islam. Sebab, sebagaimana yang dikatakan Obama, bahwa Amerika tidak perang melawan Islam. Tetapi perang melawan terorisme. Pernyataan Obama itu secara implisit dapatlah kita maknai bahwa Islam bukan identik dengan terorisme. Islam adalah agama yang cinta damai, Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Mereka yang berbuat teror tidak berhak untuk mengatakan atas nama Islam.

Dengan demikian, peristiwa kematian Osama adalah berkah tersendiri bagi Islam. Kita dapat berharap, pasca kematian Osama citra negatif tentang Islam lambat laun bisa terpulihkan kembali.

*Mahasiswa IAIN Walisongo, Semarang
 Dimuat di Jaringan Islam Liberal

0 komentar:

Posting Komentar