Oleh M Abdurrahman Tsani
Senin, 29 Agustus 2011
Bulan suci Ramadhan diharapkan menjadi momentum reformasi moral dan
sosial setelah satu bulan menjalankan puasa. Di bulan ini, keyakinan
akan kelebihan dan kemulian yang diberikan Tuhan kepada umat Muhammad
sudah mendarah daging bahwa dosa-dosa yang telah lalu bisa terampuni.
Ini sesuai sabda Nabi, "Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan
dengan iman dan ihsan, maka dosa-dosa yang telah lalu akan diampuni."
Dalam agama Islam, tawaran menarik berupa 'pahala' bagi orang-orang
yang mau berbuat kebaikan (amal saleh) sudah banyak terdapat di dalam
teks-teks suci. Pahala sunnah dan wajib semua dilipatgandakan. Sedangkan
ketika malakukan maksiat, tak pernah ada janji melipatgandakan dosa
dari perbuatan itu. Yang jelas, pada bulan ini merupakan musim panen
bagi umat Islam yang mau beramal saleh.
Kemantapan terhadap balasan dari Tuhan selama menjalani aktivitas baik
(saleh) selama bulan ini tidak dipandang sebelah mata. Kehidupan sosial
mulai dari yang terkecil hingga besar pun mudah kita temukan di
sekeliling kita. Atribut agama menjadi andalan dalam mengisi kesejukan
Islami selama sebulan penuh. Tidak dipungkiri, kesalehan individu
bertebaran di mana-mana.
Atribut agama layaknya kerudung, peci, sorban dan busana
Muslim-Muslimah tak jauh dari anggapan sebagai langkah ritualitas
individu. Sedangkan dalam konteks sosial, kegiatan penyantunan anak
yatim, buka bersama, berbagi sedekah, diskusi agama, dan lain-lain juga
merupakan langkah memanfaatkan berkah yang dijanjikan dalam bulan puasa.
Jika ditelisik, sampai batas mana kemampuan umat Muslim menjalankan
kebaikan ini? Apakah hanya terjadi pada bulan Ramadhan saja, sedangkan
di bulan lain justru tidak sedikit perbuatan tercela banyak dilakukan?
Apakah beramal saleh hanya terjadi di bulan Ramadhan saja?
Secara subtansi, yang menjadikan umat Muslim berbondong-bondong berbuat
baik bukan karena perbuatannya, namun momen atau waktunya. Menurut
logika, berbuat baik tidak harus menunggu bulan suci, di bulan-bulan
lain pun sah-sah saja. Mengapa di bulan selain Ramadhan, tidak banyak
terjadi nuansa Islami dan amal saleh sebagaimana pada bulan ini?
Sebab, itulah, amal saleh yang merupakan kategori sebagai investasi
pahala sulit terwujud apabila selain di bulan puasa. Walaupuan ada,
kuantitas kesalehan, baik individu maupun sosial tak sebanding dengan
kesalehan selama Ramadhan. Hal itu terjadi karena pada bulan Ramadhan
segala amal saleh dilipat gandakan. Perburuan pahala yang menggiurkan
bagi orang awam jelas sah-sah saja. Dalam sebuah hadits Qudsi
dijelaskan, "Puasa itu milikku (Tuhan) dan hanya Aku jua yang akan
membalasnya."
Pengakuan Tuhan bahwa puasa itu adalah miliknya menunjukkan terjadi
pengistimewaan pada bulan ini. Seolah pengakuan itu tidak boleh ada
pihak lain yang ikut campur. Dari latar belakang tersebut, umat Muslim
semakin yakin dengan kehebatan bulan ini, sehingga mau tidak mau, jangan
sampai keistemwaannya terlupakan begitu saja.
Hasrat manusia demi memenuhi kebaikan-kebaikan dalam hidup terutama
yang besifat lahiriah terkadang dilakukan dengan cara yang kurang baik.
Bisa saja, nuansa kemulian Ramadhan yang dianggap sebagai momen
reformasi individu dan sosial disalahfungsikan dengan niat-niat yang
tidak baik. Hal inilah yang kemudian memicu nihilnya esensi Ramadhan,
yakni hilangnya berkah. Artinya, tidak ada proses transformasi perilaku
dari yang kurang baik menjadi lebih baik.
Semua perbuatan Islai, apabila dimanfaatkan untuk pecitraan pribadi dan
golongan jelas tidak sesuai dengan orientasi Ramadhan. Secara bahasa
(lughoh), Ramadhan bermakna membakar. Di sinilah fungsi pembakaran
Ramadhan terhadap jiwa-jiwa umat Muslim dalam melakukan kebaikan dan
meninggalkan kemaksiatan. Tujuan dari pembakaran tersebut untuk jangka
panjang, bukan sesaat.
Selain bulan Ramadhan, terdapat 11 bulan Hijiriah yang mana dalam
menjalani kehidupan dari hari ke hari jelas banyak aral melintang.
Paling tidak, persiapan jiwa dengan penuh ihlas dalam menjalani ibadah
selama bulan suci menjadi penting mengingat perjalanan selama satu tahun
tidak cukup sedikit. Sehingga, dibutuhkan jiwa-jiwa yang bersih dan
benar-benar ikhlas beramal.
Yang dikhawatirkan, selama bulan suci terkadang terjadi pembakaran
semu. Artinya, kebiasaan beramal saleh secara individu maupun sosial
oleh umat Muslim bukan semata-mata atas kehendak Tuhan, namun sebagai
pencitraan dan karena pujian manusia. Yang jelas, perilaku tersebut
tidak untuk jangka panjang. Bisa saja, di luar bulan ini, mereka akan
berbuat sebaliknya.
Walaupun manusia adalah tempat salah dan lupa, dengan menggunakan
argumen ini sangat tidak sesuai dengan konteksnya. Yang dituju dalam
menggapai esensi atau makna Ramadhan berhubungan dengan sikap dan
perilaku pasca menjalani ritual puasa. Jangan sampai, ritualitas dan
amal saleh selama ini hanya formalitas penyemarak Ramadhan belaka, namun
harus bisa membangkitkan gairah diri dalam konsisten manjalani amal
saleh.
Umat Muslim harus bercermin diri ketika melakukan perbuatan baik. Bukan
untuk berkaca dari keburukan, namun berkaca sejauh mana kebaikan itu
bisa istiqomah, entah lahir maupun batin. Proses tersebut meupakan
transformasi kejiwaan yang dalam ilmu Tasawuf disebut dengan pengosongan
jiwa (takholli) dari maksiat dan kemudian memasuki tahap pengisian
jiwa, yakni beramal saleh (takhalli).
Oleh karena itulah, keberhasilan jiwa kita dalam menapaki pahala dan
proses tranformasi sosial jangan sampai melupakan konsistensi amal
saleh, baik vertikal maupun horizontal. Agar kita tidak terbuai dengan
nuansa Ramadhan yang bersifat formalitas belaka, maka esensi ritualitas
Ramadhan jangan sampai terlupakan, yakni dengan tetap melakukan
kebaikan; baik selama ataupun pasca bulan Ramadhan. ***
Penulis adalah peneliti di IKSAB Center, Semarang.
DImuat di Suara Karya
0 komentar:
Posting Komentar